Postingan

Oasis

Kata bisa saja meramu kisah yang indah. Namun, tanpa semesta, rasa takkan bertemu pada satu waktu yang sama. Tidak ada alasan untuk tidak merasa kesal siang ini. Dalam waktu kurang dari lima menit, terik mentari tergantikan awan mendung yang amat pekat, lengkap dengan hujan amat deras dan angin kencang. Sial, gerutunya dalam hati. Untuk kesekian kalinya, payungnya tertinggal di ruang kerjanya. Rencana pulang cepat dan memulihkan lelah, sirna sudah. Bersama dengan puluhan orang lainnya, dia terjebak di satu perhentian yang sama. Semakin lama, hujan turun semakin deras. Kulitnya mulai dibasahi air hujan, rambutnya pun dikacaukan oleh angin. Berbalut pakaian dengan kain tipis, dingin pun mulai merasuki tubuhnya. Belum lagi, berkas pekerjaan dan laptop di dalam tas yang harus mendapat perlindungan ekstra agar tidak basah. Sempurna. Kekacauan yang sempurna untuk sore ini. "Anna? Terjebak hujan juga?" "Oh, Dave?" Dengan hati yang sangat kacau, Anna memaksaka

Hai,

Ah, akhirnya yang kunanti tiba. Deretan bulan dipenghujung tahun selalu membawa aura tersendiri -- liburan, target, rencana, berpadu menjadi satu dengan indahnya. Tapi entahlah, aku tak dapat menentukan perasaan hati yang tepat untuk momen ini. Sedih, tidak mungkin. Bahagia, juga tidak mungkin. Senandung lagu sendu berhasil memaksaku keluar dari ruang persembunyianku. Betapapun aku mencintai perpustakaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, instrumen bernada menyedihkan tak bisa kutolerir. Akhir-akhir ini, tepatnya. Bersama tiga jenis buku yang kupilih, kuputuskan untuk menyusuri jalanan kota. Kelopak Tabebuya mulai menghiasi trotoar, jalanan, atau objek apapun yang angin kehendaki untuknya. Kuning, putih, merah muda -- pohonnya tak lagi mempesona. Mungkin, setelah ini dia akan dilupakan sampai pada musimmnya. "Hai. Belum bosan mengumpulkan kelopak bunga tak berguna itu?" Suara tak asing menyapa telingaku, menyayat batin, dan mengoyakan kotak ingatan yang telah

Surya dan Mentari

Andai, cerita kita seperti Surya dan Mentari. Rupanya, hari ini hari ke tiga puluh. Tepat tiga puluh coretan merah kecil-kecil juga melintang pada kalender kecil yang bertengger di atas mejaku. Tepat tiga puluh hari, tirai biru tua menghalangi sentuhan alam menembus kamarku. Tepat empat minggu, aku terbenam dalam duniaku. Kalau bukan karena burung kecil yang mendadak hinggap mengetuk-ngetuk kaca jendelaku, aku belum mau bersentuhan dengan alam. Ruang kamar seluas lima meter persegi ini sudah cukup menjadi duniaku, menjadi semestaku. Balut selimut sudah cukup menenangkanku. Sekali lagi, kutarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku. Kubungkam telinga dengan bantal, berharap sunyi segera menguasaiku. Sial, burung kecil terus mengetuk-ngetuk kaca jendelaku. Langit terhampar sangat luas untuk dilewatinya, kenapa mesti mengganggu siangku? "Akhirnya, kamar ini disiram sinar matahari." Seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu memasuki teritoriku. Secara tida

Keping Emosi

Yang keempat. --- Senja kembali menjemput dengan cepat. Sepertinya, matahari sudah tak sanggup lagi menahan rindu kepada horizon yang menantinya pulang. Sudah saatnya matahari untuk beristirahat, Tumpukan berkas masih menggunung di atas meja Elena, mengapit laptop yang sudah menyala lebih dari delapan jam lamanya. Dekorasi yang menghias meja kantor pun juga tertimbun di lautan berkas. Jemari Elena yang memukul-mukul tombol keyboard terdengar dengan volume yang keras dan cepat, memecah keheningan. Sebagian besar karyawan memilih untuk pulang sebelum jam kemacetan memuncak. "Proyek Mr. Primus?" tanya seseorang. "Ah, ya, benar sekali," jawab Elena. "Akhirnya, pertanyaan saya dijawab." "Maksudmu?" "Saya bertanya sebanyak lima kali, dan pertanyaan kelima yang kaujawab," ucapnya. "Apakah masih ada yang bisa kulakukan? Sepertinya hari semakin malam dan Anda masih sangat sibuk dengan pekerjaan. Sebagai rekan satu tim, say

Keping Emosi

Yang ketiga. --- Ah, sial! Apakah tubuhku melayang semalam hingga bisa mendarat sempurna dengan dibungkus selimut hangat ini? ! Sinar mentari yang menembus jendela dengan malu-malu memaksa Elena membuka matanya. Ya, Elena hanya bisa tidur di tengah kegelapan total. Sedikitpun cahaya yang berani menerobos area wajahnya, dia akan dengan sangat segera terbangun. Belum lagi, pagi ini dilengkapi dengan getar ponsel berulang-ulang. " Good morning, Sunshine ?" sapa Olivia di ujung telepon. "Sudah pulas tidurmu? Sudah segar tubuhmu? Sudah siap dengan tumpukan deadline hari ini? Sudah siap meeting bersama Mr. Primus dan Mrs. Renata?" "Astaga, Olivia. Kesadaranku baru terkumpul satu persen. Tolong jangan bicarakan urusan pekerjaan di telepon ketika masih terlalu pagi." "Aku harap kau sedang bergurau. Sebab, dalam empat puluh tiga menit lagi, kita akan briefing bersama dengan Liu Wen the Big Boss. Itu artinya, tidak ada kata terlambat

Keping Emosi

Yang kedua. --- Musim gugur 2006. Kamis tak pernah menjadi hari yang sibuk. Namun, di hari ini, lautan manusia menguasai halte mungil di depan gedung perkantoran dengan sembian lantai ini. Mentari yang menyilaukan semakin menuju ke barat. Mereka yang menanti, memicingkan mata menantang mentari, demi melihat secara langsung kedatangan bus. Seorang perempuan yang baru keluar dari gedung perkantoran tersebut mendesah. Seharusnya dia mengikuti kata hatinya untuk mengambil jam lembur. Namun, fisiknya memberontak dan memaksa dia untuk pulang. Badannya belum pulih betul akibat penerbangan jarak panjang yang ditempuhnya kemarin. Sekarang, inilah akibatnya.  Lebih baik kerja lembur tanpa mendapatkan bonus daripada harus berdiri berdesakan dengan orang-orang yang berkeringat ini, pikirnya. Setelah menanti sekitar dua pulub tiga menit, bus yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Mendadak, lautan manusia yang telah lesu, serempak menjadi semangat. Sama semangatnya ketika mendapatkan jackpot da

Keping Emosi

Yang Pertama. --- Laptop beradu dengan buku tebal di atas sebuah meja bundar. Di sampingnya, terdapat secangkir  Matcha Latte  dan secangkir  Jasmine Tea  dengan uap yang mengepul. Lagi, baru saja meluncur dari dapur, sepotong  croissant  diapit garpu dan pisau. Senja telah menjemput. Alunan musik yang diputar lembut, menembus suara percakapan yang samar-samar. Di dalam  lounge  tersebut, terdapat  bar  serta enam buah meja bundar dengar diameter tujuh puluh lima sentimeter. Kini, hanya ada seorang di  bar  yang sibuk dengan ponselnya, seorang menempati sebuah meja bundar, dan sepasang kawan karib menguasai meja di ujung ruangan. Olivia menarik bukunya hingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Di sana, dia mengintip Elena, yang sedari tadi sibuk mengetik sesuatu dengan laptopnya. Sebagai seorang yang melankolis, Olivia sadar betul, ada sesuatu yang  bermasalah  dengan sahabatnya. Ya, hari ini Elena mengetik dengan tekanan yang  sangat besar  kepada  keyboard  laptopnya. De