Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Refleksi 2016.

Masih hangat rasanya dalam ingatan, bagaimana milyaran manusia yang berpijak di atas bumi ini menantikan kehadiran tahun yang baru, tahun 2016. Ada yang menantikannya bersama orang-orang terkasih dengan beribadah bersama, berlibur bersama, atau justru ada yang menantikannya di rumah sendirian. Mungkin, jutaan kembang api telah dilontarkan ke atmosfer, menyisakan polusi udara tanpa kita sadari. Terompet-terompet dibunyikan dengan penuh semangat, untuk mengawali tahun yang baru. Dan tak lupa, resolusi, harapan, dan cita-cita didoakan pada malam pergantian tahun tersebut.                 Tak terkecuali aku. Tepat setahun yang lalu, aku di rumah. Berkumpul bersama keluarga dalam sebuah lingkaran kecil. Menantikan kehadiran tahun 2016 dengan memanjatkan doa pada Tuhan serta membuat resolusi-resolusi pribadi. Namun saat ini, di sinilah aku. Kembali dalam rumah yang sama, menantikan kehadiran tahun 2017. Bukankah waktu bergulir terlampau cepat?

the Twilight [1]

Ia terus tersenyum sendiri setiap kali teringat akan hari itu. Sabtu yang berawan, matahari berselimutkan awan, dan suasana alam yang begitu menyenangkan. Sore itu, ia mampu mendengar bunyi-bunyian alami. Nyanyian burung, senandung pepohonan yang ditiup angin, serta gemericik air pada sebuah kolam kecil. Pemandangan sekitar tampak hijau dan sangat luas. Suasana tenang dan nyaman benar-benar meliputinya kala itu. Bersama dia.             Sore itu, ia mampu bersyukur pada Tuhan. Bersyukur atas alam yang sangat luar biasa. Bersyukur atas tempat indah yang boleh ia kunjungi. Bersyukur atas pemandangan yang sangat memanjakan matanya. Bersyukur untuk udara sangat segar yang sudah lama tak dihirupnya. Bersyukur atas dia , yang menemaninya sore itu.

Happy Mother's Day!

Teruntuk seorang wanita yang tak pernah lelah memberikan 'ceramah' untukku. Teruntuk seorang wanita yang tak pernah lelah memberikanku  'pesan sponsor' sebelum aku mengambil pilihanku. Teruntuk seorang wanita yang tak pernah menyerah padaku. Teruntuk seorang wanita yang tak pernah berhenti menyebutkan namaku di setiap doanya. Teruntuk seorang wanita yang menjadi inspirator utamaku.

One Short Journey [part 03]

When you take time with God and listen to His voice, H e renews your strength and enables you to handle life. Untuk pagi ini, aku memutuskan untuk segera beranjak dari kasurku ketika aku sudah terbangun dari tidurku. Lagi, tidurku tak pulas, seperti ada sesuatu yang mengusik nyamannya tidur malam. Seolah takut, tidurku ini akan berlanjut hingga aku bangun kesiangan (whoops!).                 Meskipun semalam aku terjaga hingga tengah malam, pagi ini aku mampu bangun dengan keadaan yang bahkan lebih segar dibandingkan sehari sebelumnya. Kuputuskan untuk menikmati pagi hari yang indah ini dengan saat teduh pribadi di tempat yang agak terasing sambil ditemani bunyi-bunyi alami yang tak pernah kudengar di Surabaya.

One Short Journey [part 02]

When y ou take time with God and listen to His voice, H e renews your strength and enables you to handle life. Astaga, kenapa pagi hari datang begitu cepat?                 Rasanya, baru saja kupejamkan mataku dan kutarik selimutku hingga menutupi sekujur tubuhku. Kepalaku terasa sedikit pening akibat terbangun beberapa kali selama tidur malamku. Dan juga karena sebuah mimpi tak terduga yang tiba-tiba mengisi alam bawah sadarku selama istirahat malam. Tapi aku bersyukur sekali bangun lebih awal dari jadwal. Setidaknya aku punya kesempatan untuk meditasi alam sejenak, menenangkan diri dari hiruk pikuk Kota Pahlawan.                 Agak berbeda dari jadwal yang sudah di- floor -kan dua minggu sebelum acara, hari ini akan dibuka dengan sarapan. Dan seperti camp-camp lainnya, seusai sarapan akan diadakan kegiatan yang tak pernah absen dan selalu dinantikan oleh segenap peserta (kecuali aku) – Outbound! Yap, untuk kegiatan yang satu ini, entah kenapa aku tak pernah punya

One Short Journey [part 01]

When you take time with God and listen to His voice, He renews your strength and enables you to handle life.                 Semilir angin yang membelah serta mengacaukan tatanan rambutku menyambut begitu kakiku menapak pada tanah tempat aku berpijak pada hari itu. Kuhirup udara yang segera mengisi kesegaran pada paru-paruku. Hawa sejuk meliputiku, membuat kulitku turut bernapas.                 Cuaca hari itu sangat sempurna bagiku. Tak panas, juga tak dingin. Matahari tampak malu-malu sehingga bersembunyi di balik awan stratus. Gemerisik suara dedaunan yang saling bergesekan serta kicauan burung dari kejauhan semakin menyempurnakan suasana siang itu. Ya, inilah alam. Alam ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa.

Mungil dan Kupu

Mungil. Ya, ia mungil Di balik mahkota yang senantiasa menyelimutinya Di balik mahkota yang menyembunyikannya Ia merekah ketika musim semi tiba Namun mahkota itu segera rontok Ketika musim kemarau tiba Tak pernah ada lagi tanda-tanda Ia akan merekah kembali

Topeng

Gadis itu masih di sana Berdiri dan bertahan Tak peduli hujan kian deras menerpanya                 Hujan, hujan, dan hujan                 Tak hanya tetes air yang terjatuh

Out of this World

Jika aku punya sayap Mungkin kini aku sudah terbang Pergi mengasingkan diri Dari hiruk pikuk dunia ini                 Jangan hambatku pergi                 Jangan tahanku di sini                 Biarkan aku pergi                 Menciptakan duniaku sendiri

Box

Sehari penuh ia habiskan dalam ruangan itu. Ruangan yang bernuansa biru – warna favoritnya. Seharusnya, warna itu mampu memberikan ketenangan padanya. Setiap kali ia merasa gundah, dengan berada di ruang pribadinya saja ia mulai merasakan sedikit ketenangan. Namun kali ini tidak, ada sesuatu lain. Seolah ada hal lain yang justru menyingkirkan rasa tenang itu, dan menghadirkan kebimbangan.             Dunia ini terasa dingin, sangat dingin. Dunia ini selalu menghadirkan sejuta tanda tanya pada babak baru. Terkadang dunia membuatnya tersenyum. Terkadang dunia juga meluncurkannya pada titik terendahnya. Senyum yang selalu dipasangnya, tak mampu mengembang terus. Bunga saja dapat mengempis, demikian dengan senyumannya. Bagaikan topeng, senyum itu ia lepaskan ketika ia berada dalam ruang pribadinya.

305

Tak ada hujan, tak ada angin Tak ada juga mentari Tak ada pula dewi malam Siang terasa bukan siang Malam pun terasa tak lengkap

Secangkir Kisah tentang Hujan

Tak banyak hal yang berubah dari hatinya. Masih terkunci rapat, dingin, dan berdebu. Tak ada sedikit pun rasa dari luar yang hinggap padanya setelah sekian lama. Tak ada sedikit pun rasa yang terpancar dari dalam untuk menghangatkan hatinya.   Ia terlalu asyik dan sibuk dengan kesendiriannya. Sehari-hari, hanya buku-buku yang menemaninya. Terkadang, ada secangkir kopi atau teh hangat yang menghangatkan suasana. Di rumahnya, ia punya sebuah tempat khusus untuknya membaca. Bernuansakan cokelat, ruangan berbentuk persegi panjang tersebut terkesan rileks. Terdapat sebuah sofa bewarna senada dengan meja kecil di sampingnya. Dua sisi tembok ruangan tersebut terdapat rak yang menjulang dari dasar lantai hingga hampir menyentuh plafon.

Sendiri

Diam, sepi, sunyi Mulut terkunci rapat Tak ada suatu katapun mampu meluncur keluar Sejuta hal dalam pikiran Tapi semuanya terperangkap Seolah tak ada energi yang mampu mendorongnya keluar

Tanya.

Dia sendiri Diam, merenung Hanya ditemani alam Angin yang membelai rambutnya Sinar Sang Surya yang menghangatkannya                 Pandangannya jauh ke depan                 Entah apa yang dilihatnya                 Entah apa yang terlintas dipikirannya                 Entah apa yang mengusik batinnya

Being Sociopreneur: Yay or Nay?

Gambar
Berawal dari melihat pengumuman mengenai lomba Writing on the Web (WOW), saya akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti lomba yang diadakan oleh Pusat Karir (Puskar) Universitas Kristen (UK) Petra ini. Dan ya, inilah hasil dari ‘eskperimen’ tersebut. Hope you enjoy this! All comments are welcome!

Aku, Kau, dan Sang Lunar

Gambar
  Langit cerah tak berawan adalah suatu anugerah yang istimewa untukku. Setidaknya untuk malam ini. Akhirnya, populasi awan di troposfer berkurang. Kuambil kameraku yang lama tak kugunakan, dan kuarahkan lensanya ke langit, berharap menemukan suatu objek yang dapat kupotret. Beruntung sekali, akhirnya ia keluar dari persembunyiannya setelah sekian lama.

DKI 1: Tangga Menuju RI 1?

     Belum juga tahun 2016 ditutup, topik mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub) DKI Jakarta santer diberitakan, bahkan sudah dibicarakan sejak awal tahun 2016. Padahal, pemilihan ini baru akan diadakan pada awal tahun 2017 mendatang. Tidak heran jika topik ini menjadi trending topic diberbagai media serta pembicaraan hangat pada berbagai kalangan, terutama mereka yang bergerak di dunia politik dan masyarakat DKI Jakarta.      Poin utama dari pilgub ini adalah calon. Berbagai nama muncul silih berganti tanpa ada kepastian hingga memunculkan berbagai spekulasi. Tak hanya politikus dan praktisi hukum yang rindu akan jabatan DKI 1, tapi juga masyarakat awam serta pebisnis. Memang, jabatan ini sangat menggiurkan dan dapat dijadikan sebagai batu loncatan dalam dunia perpolitikan. Setelah berbulan-bulan penuh spekulasi dan tanda tanya, akhirnya pada 22 September 2016 lalu rasa penasaran publik terjawab, siapa yang mendaftar sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur

Hujan

Hujan menyisakan sejuta cerita untuk dinikmati. Tiap tetesnya meninggalkan sejuta kenangan yang menjadi bagian dari masa lalu. Aliran airnya menyejukkan batin serta hati yang terasa kering. Dan itulah yang kurasakan, tiap kali hujan datang menghampiri hariku. Tak semua orang mencintai tetes hujan itu, termasuk aku. Dulu aku menyukai hujan. Ia hadir menawarkan nuansa kesegaran yang mampu meningkatkan semangat dan kemampuan berpikir logisku. Tiap kali hujan, selalu ada karya yang dapat kuhasilkan. Atau setidaknya, aku dapat menikmati secangkir kopi dan sepotong roti bakar dengan tenang sambil menyelesaikan tugas-tugasku.

Macet: Salah Siapa? [opinion]

Asap polusi dan suara bising klakson sudah menjadi teman akrabku semenjak aku kecil. Ya, mungkin itulah yang disebut sebagai salah satu 'karunia' berkampung halaman di sebuah kota metropolitan, kota terbesar kedua se-Indonesia. Ditemani sepeda motor matik merah itu, kuselusuri berbagai sudut kota. Tak banyak pemandangan yang berbeda. Kendaraan bermotor di mana-mana. Bahkan, jika dilihat-lihat, sepeda motor yang baru lepas dari pemberhentian oleh lampu lalu lintas tampak seperti lebah yang baru keluar dari sarangnya. 

Deep Breath

Gambar
Sejuta pertanyaan muncul di benakku Tak pernah ada satupun jawab yang terpikirkan Terlintas sedikitpun tidak Namun rasa penasaran ini terus menerus menghantuiku             Sudah kutanyakan rasa penasaran itu             Bahkan Dewi Athena dengan kebijaksanaannya tak memiliki jawabannya Sungguh, kuakui Teori Aristoteles ataupun Plato pun tak mampu memecahkan permasalahan ini

A Night To Remember

Gambar
Malam ini sangat cerah, terlampau cerah bahkan. Jutaan bintang bertaburan menghiasi langit malam, mewarnai atmosfer bumi ini. Rasi bintang Orion tampak jelas, sosok pemburu   besar yang gagah berani. Setitik cahaya Betelgeuse makin mempercantik malam ini.                 Angin berdesir, menghembuskan kesegaran bagiku, dan bagimu di tengah padang ini. Meski udara dingin membuatku gemetaran, kurasakan pancaran kehangatan dari senyumanmu yang tak hentinya mengembang. Cahaya kebahagiaan terpancar dari matamu. Mulutmu tak hentinya memuji karya agung Sang Pencipta.

Memories

Tidak semua kenangan itu indah, dan tidak semua kenangan itu pahit. Setiap pengalaman memiliki rasanya masing-masing. Terkadang, benda-benda, tempat-tempat, atau saat-saat tertentu melemparkanku kembali pada kenangan itu . Kenangan yang sudah lama ingin kulempar jauh-jauh.             Sudah berulang kali aku hampir berada pada situasi seperti ini. Tapi, selalu saja aku tidak siap. Berulang kali aku mendengar kabar rencana kepergiannya. Ada perasaan kalut yang berkecamuk dalam jiwaku, entah apa penyebabnya. Seharusnya aku tidak seperti ini. Seharusnya aku justru biasa saja, atau bahkan tidak memikirannya sama sekali.

Rindu

Tidak, aku tidak sendiri Sesak penuh keramaian Berjuta jenis suara mengalir menggetarkan gendang telingaku Tapi pikiranku sunyi senyap Sedang hati ini terasa kosong dan hampa Jerit rindu terus menggema Semua terasa berbeda dan lain dari biasanya Hati ini seolah mencari-cari apa gerangan yang telah lenyap Mencuil sebagian dari apa yang ada Mengosongkan kehangatan yang ada Meninggalkan bekas-bekas kebersamaan Yang kelamaan akan luntur Terbawa arus waktu

Rindu

Tidak, aku tidak sendiri Sesak penuh keramaian Berjuta jenis suara mengalir menggetarkan gendang telingaku Tapi pikiranku sunyi senyap Sedang hati ini terasa kosong dan hampa Jerit rindu terus menggema Semua terasa berbeda dan lain dari biasanya Hati ini seolah mencari-cari apa gerangan yang telah lenyap Mencuil sebagian dari apa yang ada Mengosongkan kehangatan yang ada Meninggalkan bekas-bekas kebersamaan Yang kelamaan akan luntur Terbawa arus waktu

Blessed 18

Hari ini adalah sebuah hari yang spesial Setahun lagi Tuhan tambahkan usia untukku Setahun lagi Tuhan memberikan kesempatan untukku lebih banyak berkarya Setahun lagi Tuhan mengutusku tetap di dunia 18 bukanlah sekadar angka  Yang digoreskan menggunakan pena dengan mudahnya 18 adalah sebuah bukti Bukti cinta kasih Tuhan yang sudah kunikmati 18 adalah sebuah pertanda Semakin berkurang waktuku di dunia ini Semakin banyak yang harus kulakukan

My very first novel : Dalam Pelukan Salju

Hello peeps! :) Finally! Shout to the Lord! Setelah proses yang panjang, pada hari yang spesial ini novel "Dalam Pelukan Salju" dirilis. Novel bergenre fantasi, petualangan, dan cinta ini merupakan novel perdana dari Regina Bella Rosari yang diterbitkan oleh @nulisbuku (on instagram). Ingin tahu lebih banyak tentang novel ini? Check di http://nulisbuku.com/ books/view_book/8800/ dalam-pelukan-salju God bless you all and happy holiday! Regina Bella Rosari Facebook: Regina Bella Rosari Instagram: reberoo_  / reberosdiary E-mail: reberoolin@gmail.com 

Broken Heart.

Mencintainya bukanlah hal yang mudah. Bertahun-tahun aku berusaha membuka hati untuk orang yang baru, tetapi tidak berhasil. Kini, ia hadir dalam hidupku. Ialah yang berhasil membuka pintu hatiku yang terkunci rapat, melembutkan perasaanku yang terlalu lama cuek, dan menghangatkan jiwaku di tengah serbuan angin kesendirian.             Ia memang bukanlah seorang yang secara fisik kuinginkan. Tepatnya, aku tidak pernah membayangkan ia sebagai seorang yang mengisi hari-hariku. Terlintas sekalipun tidak. Mungkin hanya sekadar teman biasa yang tidak begitu memiliki makna dalam hidupku.             Kini, aku mulai sadar bahwa aku terpesona dengan senyumannya yang selalu tampak sempurna. Bahkan terkadang aku merasa senyuman itu hanya ditujukan untuk diriku seorang. Aku juga terpesona dengan semua yang ia katakan. Ucapan yang keluar dari bibirnya selalu tersimpan dalam hati, seolah setiap kata yang dilontarkannya memiliki ruangan khusus dalam hatiku. Aku juga terpesona dengan apa yang ia

1000 Camelia [part 16 - LAST PART]

Hai, Elena. Nanti malam bisa bertemu? Aku kangen banget .             Pesan itu muncul pada layar ponsel Elena begitu Elena membuka matanya. Suasana hatinya berubah menjadi sangat bahagia. Ia yakin, jika ia berkaca saat itu juga pasti pipi bulatnya sudah bewarna merah muda. Tanpa banyak berpikir panjang, Elena menyetujui permintaan Alan. Saking bahagianya menerima pesan dari Alan dipagi hari, Elena sampai melupakan suatu hal yang penting pada hari itu: hari ulang tahunnya. Bahkan, ia baru menyadari setelah Sofia, Evan, Joan, dan beberapa teman lainnya memberikan kejutan kecil untuk Elena. Tidak tampak Alan sama sekali, tapi Elena juga tidak berniat menanyakan keberadaan Alan. Lilin berangka dua puluh telah ia tiup. Sebelumnya, ia membuat sebuah harapan yang ia ucapkan pada malam sebelumya – keinginan bertemu dengan seorang misterius yang mengiriminya Bunga Camelia putih setiap hari.

1000 Camelia [part 15]

Sejujurnya, Elena berharap Alan memberikan jawaban yang lebih. Paling tidak memberikan pemecahan masalah dalam bentuk konkretnya. Tapi, entah mengapa jawaban Alan yang sebenarnya sama sekali tidak memuaskan itu dapat menenangkan hatinya. Setidaknya membuat pikirannya sedikit lebih jernih.             “Len, kamu nggak apa-apa?” tanpa Elena sadari Elvira sudah duduk di sampingnya, memeluk pundaknya. “Kamu kelihatan pendiam akhir-akhir ini. Cerita dong sama aku. Tentang pengirim bunga itu ya?”             “Aku nggak terlalu memikirkan itu, Vir. Toh nggak membahayakan, dan aku suka banget sama Bunga Camelia.”

1000 Camelia [part 14]

Beruntung sekali, Elena langsung menyetujui ajakan Evan tanpa banyak bertanya lebih lanjut. Biasanya, ia selalu kalah dalam memberikan alasan pada Elena. Mungkin, alam semesta bersekutu untuk mendukungnya untuk acara spesial malam ini.             Evan tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. Semakin cepat langkah yang diambil, maka semakin bagus juga hasil yang akan diperoleh. Tidak ada harapan lainnya selain rencana berjalan lancar malam ini.

1000 Camelia [part 13]

Alan duduk termenung seorang diri di pinggir jendela kamarnya. Garis bibirnya tertarik sedikit membentuk senyuman tipis. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri, tentang apa yang baru saja ia lakukan sore tadi. Bisa dikatakan agak sedikit gila.             Tapi apa yang ia lakukan adalah sesuai kata hatinya. Alan juga merasa ada suatu kekuatan lain yang mengarahkan tangan dan kakinya untuk melakukan itu. Pandangannya terarah pada bulan purnama yang bersinar terang malam itu. Entahlah, ide gilanya selalu muncul ketika mendekati bulan purnama. Mungkin ada keterkaitan antara dirinya dan sang raja malam.             Alan tidak habis pikir dengan apa yang ia rasakan beberapa minggu terakhir ini. Pikirannya dan hatinya kadang tidak sejalan. Ia tidak yakin apa yang menyebabkannya. Yang pasti, ia merasa jauh lebih baik setelah berkunjung ke rumah itu. Mungkin perasaanku akan membaik jika bertemu dengannya , pikir Alan. Segera, Alan menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh.

1000 Camelia [Part 12]

Alan menyalahkan dirinya sendiri karena telah menolak tawaran Evan untuk mengantarnya pulang ke kostnya. Seharusnya ia menerima tawaran Evan dengan senang hati. Kini, ia kehujanan. Sialnya, ia tidak membawa payung ataupun jas hujan dalam tasnya.             Alan berlari kecil untuk mencari tempat berteduh. Tanpa ia sadari, kaki Alan terus berlari kecil yang mengarahkannya pada suatu tempat yang tidak asing baginya. Ya, Alan pernah mampir ke tempat ini sekitar empat bulan yang lalu, bersama Elena.             Entah apa yang membuat Alan otomatis kemari, dan secara otomatis juga membeli sebuket kecil Bunga Camelia bewarna putih. Bunga itu masih segar. Kelopaknya terasa sangat lembut saat disentuh. Beruntung, tak lama kemudian hujan reda dan Alan bisa segera pulang, dan menjalankan rencana yang tiba-tiba muncul di otaknya.

1000 Camelia [part 11]

3 bulan kemudian Elena sangat bersemangat hari ini. Akhirnya, hari yang dinantikannya telah datang – masa kuliah. Lebih tepatnya, kembali bersekolah. Elena sudah tidak tahan lagi berlama-lama di rumah. Pekerjaannya sebagai penulis dan fotografer freelancer belum cukup membuatnya merasa benar-benar produktif. Lagi pula, ia juga sudah tidak sabar mendapatkan teman-teman baru.             “Wih, adikku sudah gede.” Elvira tiba-tiba masuk kamar Elena ketika Elena merapikan pakainnya di depan kaca. “Sudah kuliah, ciye. ”             “Apaan sih, Vir. Berarti sudah tua dong kamu.” Kata Elena tanpa sedikit pun menoleh ke arah Elvira.             “Enak aja tua.” Gumam Elvira. “Ayo, cepet. Sudah keburu nih. Katanya kuliah jam delapan? Sekarang sudah jam 7.15.”

1000 Camelia [part 10]

Pemandangan di perpustakaan itu cukup menyakitkan bagi Evan. Alan dan Elena tampak sangat akrab. Padahal, setahu Evan, Elena tidak bisa langsung akrab dengan laki-laki. Pasti ada kecanggungan, sikap dingin, dan cuek pada awalnya – seperti yang ia lakukan pada Evan dan Joan pada awalnya.             Tidak, aku tidak boleh berpikiran aneh-aneh , kata Evan pada dirinya sendiri. Alan sudah ia beritahu mengenai perasannya pada Elena. Ia yakin seratus persen Alan tidak berusaha membuat Elena terpesona padanya. Tapi Evan tidak akan pernah melarang Elena dan Alan untuk tetap bersahabat.             Satu kalimat ternyata cukup untuk memastikan bahwa Alan sudah menyukai Sofia, sahabat Elena. Semoga satu kalimat itu membuat Elena hanya ‘melihatnya’, tidak ‘melihat’ yang lain. Mungkin ini tidak adil dan terkesan egois. Tapi ini urusan hati.             Siapa pula yang mau mengalah untuk urusan hati? Mungkin hanya satu di antara seratus ribu orang.             ***             Ala

1000 Camelia [part 09]

Depot itu terletak tidak jauh dari perpustakaan. Cukup dijangkau dengan kurang dari lima menit perjalanan kaki. Meski tidak terlalu besar, depot itu cukup terkenal di antara anak muda, terutama anak kost karena makanannya yang enak, porsi cukup besar, dan harga yang ramah kantong.             Awalnya, Alan tidak terlalu paham apa maksud Evan ‘ada yang bakal berubah setelah makan’. Yang berubah setelah makan, tentu saja perut kenyang, bukan? Itulah pemikiran Alan saat di perpustakaan. Tapi, kini ia mengerti apa maksud Evan.             Gadis yang duduk di depannya itu tampak sangat menikmati makannya. Raut wajahnya juga berubah. Alan tidak tahu apakah raut wajah yang dilihatnya di perpustakaan itu asli atau hanya pura-pura. Alan menduganya itu adalah raut wajah yang asli. Kini, setelah hampir semangkuk bakso dan segelas es degan habis dilahapnya, raut wajah gadis itu berubah – mungkin mood -nya membaik setelah makan.

1000 Camelia [part 08]

Elena bingung ketika tiba-tiba Evan mengajaknya pergi makan malam – tanpa Joan. Masakan ada masalah di antara Evan dan Joan yang tidak diketahui Elena? Entahlah. Terkadang, ada saja hal yang membuat Elena tidak memahami tingkah laku kedua sahabat laki-lakinya itu. Terkadang, laki-laki juga agak menyusahkan, dan susah dimengerti. Sejujurnya, Elena ingin sekali tahu dan menyelesaikan permasalahan itu sampai ke akarnya. Tidak peduli apakah memang benar ada masalah atau tidak, yang penting jika ada ketidakberesan menurut Elena adalah permasalahan. Namun, dengan berat hati Elena menolak ajakan Evan. Akhir-akhir ini, ia semakin sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai penulis dan fotografer freelancer .

1000 Camelia [part 07]

Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, Elena, Sofia, Evan, Joan, dan Alan akhirnya bertemu. Seminggu setelah direncanakan tepatnya. Kali ini, sebuah restoran di mall kawasan Surabaya Barat menjadi pilihan mereka. Elena duduk berdampingan dengan Sofia. Di depannya, Evan, Alan, kemudian Joan. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Seperti biasa, Elena sibuk membagi piring, sendok, garpu, dan makanan. Kebiasaan ini muncul karena seringnya Elena hang out bersama Evan dan Joan – Elena seolah berperan menjadi ibu dari dua laki-laki ini. “Ehm,” Joan berdeham. “Jadi, sudah saling kenal?” Joan menunjuk Sofia dan Alan secara bergantian. Pada waktu yang hampir bersamaan, Sofia dan Alan menggelengkan kepalanya. “Kenalan dulu, dong. Nggak enak kalau ada yang nggak saling kenal.”

1000 Camelia [Part 06]

Di rumah berlantai dua itu, Elena hanya tinggal bersama Elvira. Kedua orang tua mereka sibuk dengan pekerjaannya. Kebanyakan berkeliling luar kota. Tapi paling tidak, satu bulan sempat bertemu minimal dua kali.             Elena pulang dengan hati yang sangat gembira. Elvira bahkan sempat agak terkejut dengan tingkah laku adiknya yang tampak sumringah tersebut. Padahal biasanya, tiap kali pulang malam, wajah Elena sudah kusut hingga Elvira tidak mau mengajaknya bicara.             Hal pertama yang diraih Elena pada malam itu adalah buku hariannya. Kebiasaan lama yang sudah jarang ia lakukan. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada di atas kasur sementara jari-jemarinya sudah menari-nari di atas buku tebal itu.

1000 Camelia [Part 05]

Pukul empat sore datang begitu cepat. Baru saja Elena akan tertidur pulas, namun alarm sudah menjerit-jerit membangunkannya. Agar tidak semakin malas, Elena memutuskan untuk segera mandi dan bersiap. Hampir tiga puluh menit lamanya Elena berada di depan lemari pakaiannya, menimbang-nimbang pakaian mana yang akan ia kenakan pada malam ini. Satu pakaian terpilih, tapi ia merasa tidak cocok. Begitu seterusnya hingga hampir semua pakaiannya keluar dari lemari. Jatuhlah pilihan pada pakaian yang sudah lama tidak ia kenakan. Tidak pernah ia kenakan mungkin. Menit-menit selanjutnya ia isi dengan persiapannya berbenah diri. Dari make-up, rambut hingga aksesori yang ia kenakan tidak luput dari perhatiannya malam ini.

1000 Camelia [part 04]

Sembari Elena memilih-milih bunga, Alan melihat gadis itu dari kejauhan sambil memotret beberapa kali. Sesekali, Alan melirik Elena yang sibuk memilih dan menawar. Cukup pintar gadis ini, pikirnya. “Sudah dapat bunga apa?” Elena terperanjat. “Astaga, Alan! Kamu ini mengagetkan saja!” “Yang benar saja, aku sudah dari tadi di sebelah kamu kok. Coba tanya sama ibunya.” Si ibu penjual hanya menertawakan mereka berdua. “Sudah dapat bunga apa aja?” “Hmm, aku jadi bingung. Sepertinya aku sudah pernah memberikan bunga ini pada Sofia. Yang ini juga sudah.” “Bunga Camellia?” Alan menunjuk bunga di dekat Elena. Elena terdiam sejenak. “Tidak, jangan Camellia.” “Bunga Crocus ada?” Tanya Alan.

1000 Camelia [part 03]

Gadis itu cukup menarik.             Alan baru saja memasuki kamar kostnya. Di kamar berukuran 4 x 5 meter itu, semua barang kesayangan Alan dari Jakarta tertata rapi. Di sanalah ia akan bertahan hidup di Surabaya selama masa kuliahnya. Atau lebih.             Kamar itu sangat mencirikan kepribadian Alan yang sangat teratur dan rapi. Tidak ada satupun barang yang berserakan. Semua tertata dengan sangat indah. Terdapat beberapa kata-kata motivasi tertempel pada dinding. Kasur dan meja diletakkan berhadapan. Di samping kasur, sebuah lemari. Hanya ada beberapa buku dalam ruang ini, dan semuanya adalah karangan orang-orang sukses             Ia meletakkan tas dan kameranya di atas meja. Di atas meja itu, juga terdapat sebuah lampu kecil, laptop, serta jam. Alan mengambil laptopnya, menyalakan laptopnya, dan memasukkan kartu memori kamera.

1000 Camelia [part 02]

Jam enam sore di akhir pekan adalah pilihan yang salah besar. Jalanan macet di mana-mana. Lebih dari satu jam, mereka baru sampai di kafe yang dimaksudkan. Padahal, sebenarnya rumah Elena tidak terlalu jauh dari kafe tersebut. Biasanya cukup ditempuh selama tiga puluh menit.             Beruntung, Joan sudah memesan tempat. Kalau tidak, bisa-bisa malam itu mereka habiskan dengan menunggu antrian mendapatkan tempat di kafe yang cukup terkenal di Surabaya Barat itu.             Elena duduk bersebelahan dengan Evan, Joan di depan Evan. Sambil menunggu “tamu yang dinantikan”, mereka memesan makanan terlebih dahulu. Tak lama kemudian, “tamu yang dinantikan” datang juga.

1000 Camelia [part 01]

Awan tipis menggantung menghiasi langit Kota Surabaya. Cuaca terik yang diimbangi dengan tiupan angin cukup mengimbangi suasana kota siang itu.             Tak seperti warga kota Surabaya umunya, Elena Talia menikmati siang itu di jalanan yang dipadati kendaraan bermotor. Tidak, ia tidak menggunakan kendaraan bermotor. Ia berjalan seorang diri. Sepasang earphone tertancap pada telinganya. Sebuah ransel kecil menempel pada punggungnya, dan sebuah kamera menggantung pada lehernya.             Bak seorang turis, Elena mengambil gambar berbagai sudut Kota Surabaya. Kebanyakan adalah potret dari taman kota dan jalanan. Ia bukanlah street photographer , tapi ia sering kali meluangkan waktunya menjelajahi berbagai sudut kota metropolitan ini.

On that Saturday Night [part 4]

Jumat pagi telah datang. Dua minggu sudah semenjak aku berusaha menjaga jarak dari Nathan. Tampaknya ia memahami betul perasaanku, entah mendapatkan informasi dari mana. Tidak sekalipun ia berusaha menghubungiku. Di sekolah pun, ia hanya mengajakku bicara seperlunya – sebisa mungkin tidak ada komunikasi di antara kami.             Aku merasa lebih tenang, sekaligus merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupku . Setidaknya, aku tidak terlalu memikirkan kehidupan pribadiku seminggu terakhir ini. Ditambah lagi, aku mendapatkan kesibukan baru di organisasi sekolah.             “Sudah kau selesaikan proposalnya, Abigail?”             “Sudah, Lea. Hari ini akan kuberikan padamu.”             “Oke, terima kasih, Abigail.”

On that Saturday Night [part 3]

“Bagaimana Abigail? Nanti malam kau bisa ‘kan? Abigail Kimberly.” “Eh, iya, Nathan ada apa?” Aku kaget melihat tangan Nathan yang berada persis di depan wajahku. Pasti aku melamun terlalu lama. Ia memanggilku dengan nama   lengkapku. “Abigail, kau tidak mendengarkanku, ‘kan?” Nathan terdengar agak kesal. Salahku. “Maafkan aku, Nathan. Aku sedang tidak berkonsentrasi.” Aku membuka buku agendaku. “Aku bingung mengatur jadwalku–“ “Selalu beralasan seperti itu.” Nathan melangkah pergi keluar dari kelas.

Putih Abu-Abu

Tiga tahun berlalu dengan begitu cepat. Dalam waktu kurang dari satu bulan, kenangan ini akan ditutup. Dan mulai saat itulah, lembaran baru akan dimulai, goresan perjuangan baru akan dituliskan, dan perjalanan baru yang penuh tantangan akan segera dimulai.                 Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Suka dan duka, tangis dan tawa sudah kita lalui bersama. Semuanya akan terekam dalam memori kita, dan tidak akan terlupakan.                 Semuanya bermula dari 3 tahun lalu, tepatnya di bulan Juli 2013. Dalam balutan seragam putih abu-abu ini kita memulai sebuah petualangan baru. Saling mengenal dalam LOS (Layanan Orientasi Siswa), lomba 17-an , lomba Paskah, lomba Natal, Studi Wisata di Bhakti Alam, Retret di Griya Kusuma Indah, berbagai lomba yang diadakan universitas, Pentas Seni, dan akan berakhir pada Graduation Day.

Senjamu, Senjaku

Kala itu Ketika senja Ketika mentari mulai menyimpan sinarnya untuk esok hari Ketika itulah pertama kali kumelihatmu Menggiring bola basket ke sana kemari Ingin sekali aku bergabung denganmu

Dear best friend . . .

Dulu hidupku begitu sunyi, sepi, dan hampa Banyak orang silih berganyi datang dalam hidupku Meninggalkan jejak tipis Yang hilang begitu saja tertiup angin Semua yang kumiliki, bukan yang kuinginkan Semua yang kujumpai, bukan yang kuharapkan Semua mimpi terkubur dalam lautan putus asa Tak ada lagi senyuman dan tawa bahagia yang menghiasi hariku Hanyalah sebuah senyuman dan tawa palsu yang mengisi hariku