Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Langit Senja

Awan stratus menggantung membentuk mata, hidung, dan mulut sosok manusia -- entah perempuan atau laki-laki. Semburat oranye menjadi dasar awan stratus menggantung, sekaligus warna wajah sosok manusia itu. Titik matahari yang dalam perjalanan kembali ke peraduannya, seolah menjadi ornamen yang mempercantik sosok manusia itu. Tiupan tata surya hari ini menciptakan bentuk lengkung pada awan stratus. Secara kebetulan, terciptalah senyuman tipis pada awan stratus. Entah mengapa, aku merasa derajat lengkungnya sama persis dengan derajat lengkung yang terbentuk pada senyumku. Waktu semakin senja, langit oranye menjadi semakin gelap. Gemerisik rumput di sekitarku menjadi kawan yang setia sejak 43 menit belakangan. Ya, aku mengitung menit demi menit yang berjalan. Setidaknya, kesendirian hari ini mengajarkanku untuk konsentrasi dan fokus menghitung waktu. Matahari berada pada kemiringan 20 derajat dari horizon. Sinarnya terpantul pada lingkaran bewarna silver yang mengikat jariku.

Abu Kelabu

Langit kembali menjadi kelabu -- suasana yang begitu sempurna untukku. Ketika sebagian besar orang segera mencari suaka untuk berlindung ketika langit menjadi kian abu-abu, tidak denganku. Langit kelabu seakan mengandung medan magnetik yang menarikku bercengkerama dengannya. Tiupan angin dengan segala benda yang diliputi embun menjadi daya tarik tersendiri bagiku. "Chu?" Panggil ibuku.  Sepertinya, upayaku untuk kabur di tengah cuaca yang tidak menentu ini terdeteksi ibuku. Semoga dia mengizinkan, semoga dia mengizinkan... "Um, ya, Mom?"  "Mau ke mana lagi? Chumani, ingat pesan ayahmu untuk menjaga diri, 'kan?" "Lengket sekali di otakku, Mom. Jangan khawatir. Aku hanya butuh waktu sejenak di luar," aku menelan ludah. "Aku janji, sebelum hujan turun aku akan segera pulang." "Hm, jangan kau ingkari lagi ucapanmu itu," kata Mom terdengar semakin pelan. Jelas saja, aku melangkah semakin jauh dari dirinya.

[BOOK REVIEW] Presiden Gus Dur The Untold Stories

Gambar
Sumber: Goodreads Presiden Gus Dur The Untold Stories: Kiai di Istana Rakyat Judul Buku: Presiden Gus Dur The Untold Stories: Kiai di Istana Rakyat Penulis: Priyo Sambadha Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta Tahun terbit: 2014 (cetakan pertama) Tebal: 156 halaman Rasanya, tak ada seorangpun yang tak kenal sosok presiden keempat Republik Indonesia ini. Mulai dari masyarakat yang ' njamani'   era kepemimpinannya, hingga generasi 'zaman now' yang mungkin mengetahui Gus Dur karena dipaksa menghafalkan sejarah bangsa. Apalagi, sampai saat ini ungkapan khasnya " Gitu aja kok repot ? " masih sering diucapkan berbagai kalangan. Di sini, kisah Gus Dur ditulis dengan perspektif pribadi Priyo Sambadha, seorang anggota staf kepresidenan. Ketika Gus Dur menjabat, Priyo telah mengabdi di lingkungan istana 14 tahun lamanya. Jadi, sedikit-banyak Priyo membandingkan bagaimana keseharian Gus Dur dengan presiden-presiden sebelum Gus

Puzzle

Meski bersatu, garis pemisahnya tetap ada.  * Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, hingga setiap tahun aku berjuang mencari tahu makna di antara perjumpaan. Bahkan, tak jarang aku mencari tahu lewat hal-hal tak terduga. Misalnya, mengamati pergerakan ikan koi di kolam belakang rumahku, atau ikut klub mendaki gunung. Semua kulakukan, demi mendapatan jawabannya. Bagiku, sebuah perjumpaan adalah hal yang menarik. Kadang membuahkan hal yang manis, kadang membuahkan hal yang pahit, kadang juga asam. Kita tidak bisa menebaknya. Hanya waktu yang akan mengungkap jawab di balik misteri perjumpaan. Aku mengenalnya secara tidak sengaja, beberapa tahun yang lalu. Perawakannya tinggi, wajahnya cukup tampan di bandingkan kawan-kawannya yang lain. Setidaknya, waktu itu dia selalu memamerkan senyum manisnya kepada setiap pasang mata yang tertuju padanya dan karyanya.  Secara tidak sengaja, gaya gravitasi menarik mataku dan matanya bertemu

Kesempatan

Kalau hidup adalah sebuah kesempatan, lantas apa yang akan kau lakukan? * Sepanjang hidupku, aku tidak pernah melewatkan satupun kesempatan. Ya, sekecil apapun kesempatan itu, seberat apapun tantangan yang menanti dari kesempatan itu, aku akan mengambilnya. Di dalam benakku, sebuah hadiah yang menanti adalah hal yang jauh lebih berharga dibandingkan dengan resiko yang mungkin saja mengikuti. Sebagai penyuka tantangan, aku pernah pula mengambil sebuah kesempatan yang hampir merenggut nyawaku. Empat tahun lalu, aku memberanikan diriku untuk bergabung dengan klub pencinta alam. Dalam waktu singkat, aku memutuskan untuk ikut  hiking. Saat itulah, alam hampir membawaku berpulang kepada Sang Pencipta.  Di lain peristiwa, mobil yang kukendarai hampir terlindas kereta api. Entah bagaimana, sirene penanda kereta akan lewat seakan tidak berbunyi saat itu. Sialnya, perlintasan tersebut tidak dilengkapi dengan palang pintu. Mungkin, sejak lahir aku memang ditakdirkan untuk menj

Mentari [2]

Menaklukkan hati perempuan bukanlah kemampuanku yang patut dibanggakan. Sekitar sepuluh tahun lalu, aku mencoba mendekati seorang perempuan sebangkuku. Parasnya cantik dan dia menolakku mentah-mentah diiringi cemooh. Lalu, sekitar tujuh tahun lalu, aku kembali meneguhkan hatiku untuk mendekati perempuan lain. Belum sempat menyatakan perasaan, gadis itu telah menerima cinta dari seorang teman sekelasku. Mentari masih di sana, dan aku masih tetap memandangnya dari kejauhan. Hari ini, dia menyeka matanya, entah apa sebabnya. Gelora angin mendorongku melangkah mendekatinya. Tak dapat kuelak, jantungku berdegup demikian cepat. Lebih cepat daripada ketika aku maraton. Maklum, tujuh tahun lamanya hati ini tidak dihinggapi percikan asmara. Satu langkah demi satu langkah membawa ragaku mendekat pada raga Mentari. Sedikit lagi, ya, sedikit lagi. Lima langkah lagi dan aku dapat menyentuh pundak Mentari dengan lembut, mengajaknya berbincang dan menemani malamnya yang kian kelam ini -- "

Mentari [1]

Kalau mentari bisa tersenyum, pun dia bisa. Kalau mentari bisa menghangatkan bumi, pun dia bisa menghangatkan hariku. Kalau mentari adalah pusat tata surya kita, pun dia adalah pusat dari seluruh perhatianku. Dia adalah Mentari, seorang gadis yang meraih hampir seluruh sukmaku. Beruntung dia tidak meraih seluruh sukmaku, bisa mati aku. Wajahnya bersinar setiap saat. Tak peduli subuh, pagi, siang, sore, bahkan malam, dia akan menyapamu ramah dengan senyum yang mengembang. Senyumnya tercipta oleh lengkung pada bibirnya dan mata indahnya. Kemurahan hatinya kian menyempurnakan makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Ada beberapa pria dengan keberaniannya secara terang-terangan mendekati Mentari. Katanya, mereka tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ada yang rajin menjadi penyedia konsumsi, ada yang rajin memberikan kado-kado, bahkan ada yang rela menjadi sopir pribadi Mentari. Namun, dari sirat mata Mentari, dapat kupastikan usaha mereka sia-sia.  Selama ini aku hanya dapat melihat

Di Balik Cerita Manis Itu - Part 2

Gambar
Inilah cerita babak final yang tak kalah epic. “Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.” Keluaran 14:14   Senin, 26 Maret 2018 menjadi tanggal yang cukup dinanti bagi kami. Setelah seharian sibuk mempersiapkan kejutan ulang tahun bagi sahabat kami, Sarah, malamnya kami diliputi kegelisahan. Seharusnya, pengumuman finalis sudah diluncurkan tepat pukul 19.00. Namun, pengumuman baru diluncurkan sekitar dua jam setelahnya. Betapa terkejutnya kami, ketika kami terpilih sebagai salah satu finalis. Hari-hari selanjutnya diliputi kegelisahan sembari menanti brief untuk babak final. Setelah menerima brief, kami pun diliputi kegelisahan yang makin ekstrim. Terdapat shocking project yang harus kami garap di hari final. Betapa paniknya kami, berusaha menebak-nebak apa yang harus kami lakukan. Maklum, inilah pertama kalinya kami mengikuti lomba semasa kami berkuliah. Singkat cerita, kami melakukan berbagai persiapan. Kamis, 5 April 2018. Sesuai rundown, har

Di Balik Cerita Manis Itu - Part 1

Gambar
Inilah cerita babak penyisihan yang epic bagi kami. “Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.” (Keluaran 14:14) Salah satu adegan dalam video advertising kami. Hatiku tergerak untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi sebulan belakangan. Sebuah pengalaman di tengah kesibukan yang menjadi pelajaran amat berharga bagiku, secara personal (dan semoga bagi para pembaca). Kamis, 1 Maret 2018. Dalam sebuah mata kuliah, yang masih membahas mengenai materi, tiba-tiba di hari itu membahas tentang lomba. Sepanjang kelas yang berdurasi 150 menit hari itu, diisi dengan aktivitas brainstorming ide yang melelahkan. Bagaimana susahnya mendapatkan ide, dan ketika menemukan ide rupanya ide tersebut terlalu mainstream. Terus mengocok isi kepala dengan ide-ide baru sembari berusaha memahami brief (penjelasan lomba) yang cukup panjang. Biar kuceritakan sedikit isi brief tersebut agar mudah mengikuti runtutan ceritaku ini. Jadi, dalam brief tersebut,